Diduga Libatkan Supplair Ilegal, Proyek Irigasi Rp29,8 Miliar di Takalar Dikecam Warga

LENSA, TAKALAR — Aroma dugaan kecurangan dalam proyek rehabilitasi jaringan irigasi di Dusun Bontomani, Desa Bontomanai, Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten Takalar, kian menyengat.

Proyek yang menelan anggaran negara hingga Rp29,8 miliar itu kini jadi sorotan publik, lantaran diduga dikerjakan asal jadi dan tidak transparansi.

Proyek yang masuk dalam program Rehabilitasi Jaringan Irigasi D.I. Pammukulu ini dikerjakan oleh PT Jaya Etika Beton dengan masa pelaksanaan selama 210 hari, terhitung sejak 23 Mei hingga 18 Desember 2025. Namun, alih-alih menuai apresiasi, proyek justru memunculkan kekecewaan dan kecemasan di tengah masyarakat.

Salah satu sumber kekhawatiran datang dari temuan material batu gunung yang bercampur tanah di lokasi proyek. Batu tersebut diduga kuat berasal dari tambang ilegal di Buludoang, Kecamatan Bangkala Barat, dan dipasok tanpa melalui prosedur resmi.

Saat dikonfirmasi wartawan Rabu (16/07/2025), Helmi selaku Kepala Proyek memilih bungkam. Ia hanya mengatakan bahwa material tersebut “tidak digunakan untuk pekerjaan utama” dan hanya “dipakai untuk perbaikan akses jalan.”

Namun pernyataan itu diragukan publik. Warga mencurigai bahwa material sempat digunakan dalam struktur pasangan batu irigasi sebelum akhirnya dikumpulkan kembali.

Alim, koordinator lapangan proyek, justru membeberkan bahwa sekitar satu truk material, sekitar enam kubik sudah berada di lokasi dan berjanji tidak digunakan di proyek tersebut.

“Saya sedang klarifikasi ke suplaiyer, supaya material bermasalah itu tidak dipakai dalam proyek. Ada yang sudah punya izin, ada juga yang masih proses,” ujar Alim.

Namun, Alim juga mengakui bahwa dia hanya fokus pada kebutuhan material di lapangan, sementara urusan legalitas ia serahkan kepada kantornya. Pernyataan ini semakin memperkuat dugaan bahwa proyek dijalankan tanpa kendali yang memadai.

Berdasarkan penelusuran tim wartawan dan mencermati pernyataan para pihak, muncul dugaan bahwa Alim mengetahui keberadaan suplaiyer ilegal dan tetap mengizinkan pemasokan material dari mereka. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan adanya keuntungan terselubung dari suplaiyer kepada pihak lapangan.

Kondisi ini jelas berdampak pada kualitas konstruksi irigasi. Jika material tak layak dipakai dalam struktur pasangan, bukan tak mungkin bangunan irigasi berumur pendek dan gagal memberi manfaat maksimal bagi petani.

Masalah lain yang memperburuk situasi adalah ketiadaan papan informasi proyek di lokasi. Padahal, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik mewajibkan keterbukaan dalam setiap pelaksanaan proyek pemerintah.

Kamal Rajamuda Daeng Tojeng, warga setempat sekaligus penerima manfaat irigasi, mengungkapkan kekesalannya.

“Kami cuma lihat ada pekerjaan. Tapi siapa yang kerjakan, berapa nilai anggarannya, kapan selesai, semua serba gelap. Bahkan kualitas material pun kami ragukan,” kata Daeng Tojeng.

Melihat banyaknya kejanggalan di lapangan, warga mendesak agar dilakukan audit teknis menyeluruh oleh pihak independen. Mereka juga mendesak Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pompengan Jeneberang segera turun tangan.

“Kami tidak ingin uang negara hampir Rp30 miliar ini jadi proyek percobaan. Kalau ini ambruk sebelum waktunya, siapa yang tanggung jawab?” ujar Daeng Tojeng tegas.

Sebagai bentuk keseriusan, warga berencana melayangkan surat kepada BBWS Pompengan Jeneberang dan Inspektorat Jenderal Kementerian PUPR. Bahkan, bila perlu, kasus ini akan dibawa ke aparat penegak hukum.

“Kalau tidak ditindak, kami akan laporkan ke APH. Kami butuh irigasi, bukan proyek yang justru merugikan rakyat,” tutupnya. (*)

Comment