LENSA, JAKARTA – Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi menekankan pentingnya literasi digital untuk menangkal Disinformasi, Fitnah, dan Kebencian (DFK), agar informasi yang diterima masyarakat benar-benar fakta, bukan tontonan semata.
Hal tersebut disampaikan dalam diskusi PCO Goes to Campus bertajuk “Literasi Digital dan Tanggung Jawab Intelektual, Sinergi Pemerintah dan Kampus Menangkal DFK di Audiotorium Univevrsitas Al Azhar Indonesia, Jakarta, Senin (30/6/2025).
Menurut Hasan, cara menangkal DFK antara lain melalui sinergi semua pihak untuk bersama-sama skeptis dengan setiap informasi, menguatkan literasi dan menjauhkan emosi, serta membangun kesadaran kritis.
“Pemerintah tidak sanggup kalau hanya menangani ini sendiri. Karena apa? Yang jadi pelaku jumlahnya ratusan juta. Butuh ada masyarakat, kelompok masyarkat yang punya kesadaran yang sama bahwa DFK itu tidak boleh. Bahwa DFK itu menghancurkan bangsa. itu penting,” jelasnya.
Karena itu, pemerintah mendorong media, kantor-kantor pemerintah, organisasi masyarakat untuk membuat cek fakta. Hasan mengatakan, cek fakta mungkin akan menimbulkan kegaduhan. Sebab bisa jadi pihak yang disebut menyebar hoax akan marah.
“Tapi cek fakta ini harus dilakukan sebanyak mungkin orang, supaya kita bisa menjaga akurasi. Pasti berisik, tapi lama kelamaan kita akan terbiasa,” tegasnya.
Dia mengibaratkan satu berita DFK seperti satu ekor burung/hama pemakan padi atau jagung. “Kalau satu burung saja enggak akan habis padi atau jagung, tetapi kalau DFK-nya banyak, satu rombongan besar burung yang datang ke sawah atau ke ladang jagung, itu hasil kerja keras petani akan habis,” ujar Hasan.
Demikian halnya dengan kebenaran-kebenaran objektif yang selama ini kita pegang, menurut Hasan, fakta-fakta objektif itu akan habis jika dibiarkan DFK merajalela. “Karena ada ratusan juta yang terlibat dalam proses ini”.
Hasan menjelaskan, cek fakta diharapkan bisa menyadarkan publik yang saat ini sering disuguhi beragam informasi yang bersifat tontonan, sehingga batas-batas antara kebenaran dan tontotan menjadi kabur.
”Seorang filsuf dan sosiolog dari Prancis Jean Baudrillard menyebutnya dengan konsep simulakra. Dunia simulasi atau dunia tontonan,” kata Hasan.
Kata Hasan, ada tiga tingkatan simulakra. Tingkat represenrasi; informasi yang masih berhubungan dengan dunia nyata, tingkat distorsi realitas; objek sudah kehilangan transendensi akibat revolusi teknologi, dan tingkat hiper realitas; ketika, tanda, citra, dan simbol tidak lagi menggambarkan realita, bahkan menggantikan realita.
Menyoal upaya menangkal DFK, Rektor Universitas Al Azhar Indonesia Asep Saefuddin mendukung program PCO melakukan sosialasi ke kampus-kampus tentang literasli digital untuk menangkal DFK.
“Kami menyambut acara PCO Goes to Campus ini. Karena tidak semua informasi itu bermaanfaat. Ada yang hoax, ada yg fake. Literasi digital penting untuk membedakan informasi yang benar dan hoax yang akan membahayakan kita sendiri dan masyarakat. Di sinilah peranan PCO dibutuhkan. PCO sangat penting sebagai first information. Jangan sampai kita terbawa arus informasi yang membuat kita terpecah belah,” kata Asep dalam sambutannya.
Acara ini juga didukung mahasiswa UAI, peserta Goes to Campus. Azzahra Nayla Ramadhani, mahasiswi jurusan komunikasi berharap PCO bisa terus menggelar acara seperti ini di banyak kampus.
“Menurut saya ini bagus karena ada interaksi dengan perwakilan pemerintah. Karena selama ini, banyak pandangan kurang positif dari masyarakat kepada pemerintah,” ujarnya. (*)
Comment