Oleh: Muhammad Fawzan
(Mahasiswa Sastra Minangkabau, Universitas Andalas)
PRIBAHASA “manari di ladang urang” bukan hanya tentang sopan santun, tetapi juga tentang bagaimana manusia menempatkan dirinya dalam sistem sosial yang kompleks. Dalam dunia profesional, akademik, dan kreatif masa kini, peribahasa ini menjadi semacam kompas moral yang mengingatkan kita untuk menghargai ruang, waktu, dan jerih payah orang lain.
Dalam bisnis, tindakan meniru ide atau strategi pesaing tanpa izin sering kali dibungkus dengan alasan “inspirasi”. Padahal, dalam pandangan adat Minang, itu sama saja seperti “menari di ladang urang”, menginjak ruang orang lain tanpa izin. Begitu pula dalam dunia akademik, plagiarisme adalah bentuk paling nyata dari menari di ladang orang dengan langkah yang salah. Ia tidak hanya mencuri ide, tapi juga mencuri kehormatan.
Adat Minangkabau mengajarkan bahwa setiap tindakan harus disertai elok baso budi, kelapangan hati untuk mengakui hak orang lain. Orang yang bijak bukanlah yang banyak bicara atau cepat bertindak, tetapi yang tahu kapan harus diam dan kapan harus tampil. Sebagaimana pepatah lain berbunyi, “Nan tuo disumah, nan mudo di lapangan, yang tua menjaga tatanan, yang muda menegakkan marwah dengan sopan.
Dalam kehidupan sosial, peribahasa ini juga menjadi refleksi terhadap cara kita bersikap. Banyak konflik muncul bukan karena niat jahat, tetapi karena kurangnya kesadaran terhadap ruang sosial orang lain. Kita sering kali merasa berhak untuk menilai, menasihati, atau bahkan ikut campur dalam urusan yang bukan wilayah kita. Padahal, kearifan Minangkabau mengajarkan, “Indak elok manaruah tangan di nan ndak kito punyo.”
Menariknya, peribahasa ini tidak hanya berfungsi sebagai larangan, tetapi juga sebagai panduan menuju kedewasaan sosial. Ia menuntun manusia untuk berempati, memahami konteks sebelum bertindak, dan menimbang perasaan orang lain sebelum berbicara. Dalam dunia yang semakin kompetitif dan bising oleh ego, kemampuan untuk tahu diri dan tahu tempat adalah bentuk kecerdasan yang langka namun sangat dibutuhkan.
Maka, “manari di ladang urang” bukan hanya tentang batas, tetapi juga tentang elegansi dalam bersikap. Ia mengajarkan kita bahwa kebebasan sejati bukanlah melakukan segalanya, melainkan kemampuan menahan diri saat kesempatan itu ada. Sebab, sebagaimana penari sejati tahu kapan harus bergerak dan kapan harus berhenti, demikian pula manusia bijak tahu kapan harus bersuara dan kapan harus diam.
Dengan memahami pesan peribahasa ini, kita belajar bahwa harmoni sosial tidak lahir dari banyaknya suara, tetapi dari keseimbangan antara hak, rasa, dan hormat. Manari di ladang urang adalah pelajaran abadi tentang kesadaran, kepekaan, dan kebijaksanaan, nilai-nilai yang menjadikan manusia Minangkabau tetap beradab di tengah dunia yang terus berubah. (**)
Comment