Oleh: Dzaky Herry Marino
(Mahasiswa Sastra Minangkabau, Universitas Andalas)
DALAM masyarakat Minangkabau, kebebasan tidak pernah berdiri tanpa batas. Setiap langkah, setiap kata, bahkan setiap tindakan diatur oleh nilai-nilai yang menuntun manusia agar tetap elok dalam bersikap. Salah satu ungkapan yang mencerminkan prinsip ini adalah peribahasa “manari di ladang urang”, menari di ladang milik orang lain. Sebuah ungkapan sederhana, tetapi sarat makna sosial, moral, dan spiritual.
Peribahasa ini mengandung pesan bahwa dalam hidup bermasyarakat, seseorang tidak boleh bertindak seenaknya di ruang yang bukan miliknya. “Menari” dalam pengertian metaforis berarti berekspresi, berbuat, atau menampilkan diri. Namun, jika dilakukan di “ladang orang”, ia bisa berubah menjadi tindakan yang tidak pantas, karena melanggar batas etika dan hak orang lain.
Dalam sistem adat Minangkabau yang berlandaskan Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah, setiap kebebasan selalu dibingkai oleh tanggung jawab sosial. Seorang Minang sejati harus tahu di mano kaki dipijak, di sinan langik dijunjuang, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Artinya, setiap tindakan mesti menyesuaikan dengan norma, nilai, dan aturan di tempat ia berada.
Pepatah ini sering digunakan para tetua adat untuk menegur seseorang yang bertindak tanpa memahami konteks sosialnya. Misalnya, seorang tamu yang terlalu banyak bicara dalam rapat kaum, atau seorang perantau yang ingin mengubah adat tanpa memahami akar budayanya. Dalam pandangan masyarakat Minang, tindakan seperti itu bukan keberanian, tetapi ketidaktahuan diri, hilangnya rasa malu dan etika sosial.
“Manari di ladang urang” juga menegaskan nilai penting yang disebut malu baso, rasa malu yang menjaga seseorang agar tidak melanggar norma dan tata krama. Rasa malu ini bukan bentuk kelemahan, tetapi mekanisme moral yang menahan manusia dari perilaku sombong dan tidak tahu tempat. Orang Minang percaya, kehilangan malu sama saja dengan kehilangan akal budi.
Dalam kehidupan sehari-hari, peribahasa ini menjadi panduan etis yang sederhana tapi tegas. Misalnya, ketika kita hadir dalam suatu acara, tidak sopan mengambil alih perhatian atau berperilaku menonjol di luar konteks. Dalam dunia kerja, ia mengingatkan agar kita memahami struktur, menghormati senioritas, dan beradaptasi dengan lingkungan sebelum membuat perubahan.
Lebih jauh, peribahasa ini menunjukkan betapa pentingnya keseimbangan antara kebebasan dan kesadaran sosial. Masyarakat Minangkabau tidak menolak ekspresi diri, tetapi mengajarkan agar ekspresi itu tetap berpijak pada nilai-nilai kebersamaan. Sebab dalam pandangan mereka, kemerdekaan tanpa etika hanya melahirkan kekacauan, sementara kesopanan tanpa keberanian melahirkan kebekuan.
Dengan demikian, “manari di ladang urang” adalah pengingat agar kita tidak hanya pandai menari, tetapi juga bijak memilih di mana dan kapan kita harus menari. Di sanalah letak kearifan Minangkabau, kebebasan tidak dihapuskan, melainkan diarahkan agar tetap membawa kedamaian dan keseimbangan hidup bersama. (**)
Comment