Rokok Ilegal Marak di Takalar, Pemasoknya Diduga Dari Bulukumba

ilustrasi.

LENSA, TAKALAR – Meski polisi dan Bea-Cukai gencar menggelar operasi, namun peredaran rokok ilegal di Kabupaten Takalar, Sulsel, yang
terstruktur, sistematis dan masif sulit diberantas.

Maraknya peredaran rokok ilegal di wilayar Takalar karena diduga pihak terkait terkesan tutup mata.

Hal itu dikatakan Wakil Ketua DPW Lembaga Anti Korupsi dan Kekerasan Hak Asasi Manusia (Lankoras-Ham) Sulsel, Adi Nusaid Rasyid.

Adi Nusaid Rasyid mengendus maraknya rokok ilegal di Takalar karena adanya oknum-oknum yang diduga mengendalikan dan memasok barang ilegal tersebut masuk ke wilayah Takalar.

Bahkan, Adi Nusaid Rasyid pun mengendus bahwa rokok-rokok ilegal yang beredar di wilayah Takalar itu didatangkan dari Surabaya melalui jalur laut, kemudian dipasok ke wilayah Kabupaten Bulukumba.

“Nah, di Bulukumba inilah di tampung kemudian di pasok lagi ke berbagai daerah di Sulsel, khususnya masuk ke wilayah Kabupaten Takalar,” kata Adi Nusaid Rasyid saat dihubungi, Kamis (4/8/2025).

Menanggapi maraknya peredaran rokok ilegal di daerah ini, Adi Nusaid Rasyid pun mendesak Dirjen Bea-Cukai, Djaka Budi Utama agar memerintahkan jajarannya untuk melakukan operasi dan memberantas peredaran rokok ilegal di wilayah Takalar.

“Kami minta Pak Dirjen Bea-Cukai agar mengatensi dan memberantas peredaran rokok ilegal di Takalar yang kian marak dan tak terkendali lagi,” pungkasnya.

Adi Nusaid Rasyid juga berjanji akan melaporkan oknum mafia rokok ilegal tersebut ke Dirjen Bea-Cukai.

“Oknum itu kita akan laporkan ke Pak Dirjen Bea-Cukai, karena bisnis ilegal tersebut sudah lama mereka jalankan dan tidak pernah tersentuh hukum,” ucapnya.

Diketahui, dikutip dari Antara.news.com, Indodata Research Center mengungkapkan, peredaran rokok ilegal sepanjang 2024 terdiri dari rokok polos atau tanpa pita cukai, rokok palsu, salah peruntukan (saltuk) rokok bekas dan salah personalisasi mengakibatkan potensi kerugian negara diperkirakan Rp97,81 triliun.

Menurut Direktur Eksekutif Indodata Research Center Danis Saputra Wahidin, rokok ilegal yang beredar tersebut terbesar berupa polos atau tanpa pita cukai 95,44 persen, disusul rokok palsu 1,95 persen, saltuk 1,13 persen, bekas 0,51 persen, dan salson 0,37 persen.

Data dari 2021 hingga 2024, lanjutnya di Jakarta, belum lama ini, menunjukkan bahwa angka konsumsi rokok ilegal mengalami tren kenaikan yang cukup signifikan.

“Hasil kajian memperlihatkan bahwa rokok ilegal peredarannya itu semakin meningkat dari 28 persen menjadi 30 persen dan kita menemukan angka di 46 persen di 2024. Maraknya rokok ilegal terutama rokok polos yang dominan ini diperkirakan kerugian negara Rp 97,81 triliun,” kata Danis dalam keterangannya.

Menurut dia, tren perokok mengalami shifting atau beralih dari mengkonsumsi rokok legal ke ilegal. Perokok tidak lagi merokok yang mahal tetapi berubah mengkonsumsi rokok-rokok yang murah karena ternyata peningkatan nilai atau harga cukai tidak efektif untuk mengurangi jumlah perokok di Indonesia.

Kenaikan jumlah rokok ilegal, lanjutnya, disebabkan perubahan konsumsi rokok dari golongan I, golongan II dan golongan III menuju rokok ilegal yang lebih murah yang mengikuti selera pasar berupa polos, palsu, saltuk, bekas, dan salson.

“Jumlah konsumsi jenis hasil tembakau diperkirakan tidak jauh berbeda dari hasil Susenas dan survei UGM Yogyakarta, dimana konsumsi sigaret kretek mesin (SKM) lebih banyak dikonsumsi baik oleh konsumen rokok legal maupun ilegal, diikuti dengan sigaret putih mesin (SPM) dan sigaret kretek tangan (SKT),” ujarnya.

Danis menyatakan, Presiden Prabowo Subianto diharapkan dapat memberikan arahan pada jajaran Kementerian/Lembaga terkait untuk merumuskan kebijakan rokok perlu didukung oleh kajian yang objektif, komprehensif, dan inklusif, dengan dukungan data yang sahih, lengkap, dan transparan, sebagai basis penting perumusan dan implementasi kebijakan yang tepat dan akurat, sehingga kinerja kebijakan dapat lebih efektif dan efisien.

“Perlu dibarengi pengawasan dan penegakan hukum extra ordinary yang lebih intensif atas peredaran rokok ilegal, sebagai salah satu upaya strategis dalam mendukung optimalisasi pendapatan negara dan melindungi pabrikan legal di tanah air,” katanya.

Industri hasil tembakau (IHT), tambahnya, merupakan industri yang melibatkan banyak pemangku kepentingan (petani tembakau, petani cengkeh, buruh, dan masih banyak lagi.

Oleh karena itu, perlu melibatkan pemangku kepentingan yang luas dalam merumuskan kebijakan tarif cukai dan HJE menjadi sebuah keharusan agar dapat memperoleh perspektif seluas mungkin sebagai dasar pengambilan keputusan yang efektif. (*)

Comment