Ketajaman Kata dan Luka Tak Terlihat: Makna Pribahasa Minangkabau “Bara Katajam Ladiang”

Oleh: Mutia Fadillah
(Mahasiswa Sastra Minangkabau, Universitas Andalas)

DALAM khazanah pepatah Minangkabau, ada satu ungkapan yang tajam sekaligus lembut dalam maknanya: “Bara katajam ladiang, labiah tajam muluik manusia.” Artinya, “Betapapun tajamnya pisau, lebih tajam mulut manusia.”

Pepatah ini bukan sekadar permainan kata, melainkan refleksi mendalam tentang kesadaran moral dan sosial masyarakat Minangkabau. Ladiang, pisau tradisional yang biasa digunakan untuk bertani atau menjadi simbol dari sesuatu yang mampu melukai tubuh. Namun, masyarakat Minang meyakini bahwa luka akibat perkataan jauh lebih dalam, lebih lama, dan lebih sulit disembuhkan daripada luka fisik.

Luka di tubuh dapat diobati dengan ramuan, waktu, atau istirahat. Tetapi luka di hati, luka yang ditimbulkan oleh kata-kata, sering kali membekas sepanjang hidup. Kata-kata yang menusuk hati tidak hanya menyakiti satu orang, tetapi bisa memecah hubungan antar keluarga, bahkan antar kaum. Di sinilah kebijaksanaan Minangkabau tampak, menjaga lidah sama pentingnya dengan menjaga kehormatan diri dan marwah keluarga.

Dalam adat Minang, berbicara bukan sekadar alat komunikasi, melainkan juga ukuran martabat seseorang. “Kato nan bana ditarimo, kato nan salah dikambiang,” begitu bunyi pepatah yang menegaskan pentingnya menimbang kata sebelum diucapkan. Orang yang bijak memilih kata-kata seperti melangkah di atas batu basah, hati-hati, tenang, dan tahu di mana harus berhenti.

Lisan dalam budaya Minang memiliki kekuatan ganda, bisa menjadi obat, bisa pula menjadi racun. Maka dari itu, masyarakat diajarkan untuk berbicara dengan kelembutan (basa-basi nan elok) agar tidak melukai hati orang lain. Dalam setiap tutur terdapat tanggung jawab moral, sebab kata-kata bukan hanya mencerminkan pikiran, tetapi juga akhlak seseorang.

Nilai yang terkandung dalam pepatah ini semakin relevan di zaman modern, ketika kata-kata tak lagi berhenti di mulut, melainkan bisa meluas ke ruang digital. Di media sosial, satu kalimat tajam dapat menyulut kebencian massal, menghancurkan reputasi, bahkan menimbulkan konflik sosial. Karena itu, masyarakat Minangkabau kini dihadapkan pada tantangan baru, bagaimana menerapkan pepatah lama ini dalam dunia yang serba cepat dan terbuka?

“Berpikir sebelum mengetik” menjadi versi modern dari “berpikir sebelum berkata.” Sebab di dunia maya, setiap ucapan terekam dan bisa berdampak luas. Kearifan lokal Minang, yang menekankan keseimbangan antara logika, etika, dan rasa (akal, budi, dan hati), seharusnya menjadi pedoman komunikasi digital masa kini.

Pribahasa “Bara katajam ladiang…” bukan hanya warisan bahasa, melainkan warisan etika yang melampaui zaman. Ia mengajarkan bahwa kekuatan sejati bukanlah kemampuan berbicara paling keras, tetapi kemampuan untuk menahan diri ketika kata-kata bisa melukai. Dalam dunia yang semakin bising ini, mungkin kebijaksanaan tertinggi adalah diam, atau berbicara dengan hati yang bersih.

Karena setajam apa pun ladiang, ia hanya bisa melukai tubuh. Tapi ketajaman lidah, bila tidak dijaga bisa melukai jiwa, bahkan memisahkan manusia dari kemanusiaannya sendiri. (*)

Comment