Petani Menjerit, Harga Jagung di Wajo Anjlok

Petani jagung di Wajo saat panen.

LENSA, WAJO – Petani jagung di Kabupaten Wajo mengeluhkan sulitnya menjual hasil panen mereka ke gudang Perum Bulog, meskipun harga pembelian pemerintah (HPP) telah ditetapkan oleh Bappanas sebesar Rp5.500 per kilogram. Standar kualitas dan persyaratan ketat yang diberlakukan Bulog dinilai menjadi penghalang utama.

Berdasarkan regulasi kemitraan, penyerapan jagung oleh Bulog hanya bisa dilakukan melalui usaha penggilingan atau pabrik penggilingan, serta kelompok tani (Poktan) yang telah terdaftar sebagai mitra resmi. Untuk menjadi mitra, pelaku usaha harus mengisi formulir, lolos verifikasi, dan memiliki fasilitas penggilingan sesuai ketentuan. Sementara Poktan harus memiliki struktur resmi yang terdaftar di dinas pertanian, serta pernyataan kesediaan anggotanya menjual jagung melalui pihak yang ditunjuk.

PLH Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Wajo Andi Pammeneri menjelaskan bahwa harga tersebut masih menyesuaikan kadar air jagung yang tinggi.

“Kadar air di jagung bagus nya antara 12 – 14 % itupun kalau disimpan akan hitam dan berjamur karena itu Bulog mensyaratkan jagung yang dibeli memiliki kadar air 18–20% dengan harga HPP Rp5.500,” katanya Kamis (14/8/2025).

Senada, Firman Mando, Kepala Cabang Bulog Wajo menjelaskan jika jagung yang masuk ke gudang Bulog untuk Cadangan Jagung Pemerintah (CJP) harus memenuhi standar SNI, yaitu kadar air 14%, aflatoksin maksimal 50 ppb, dan bebas sampah atau tongkol. Proses pembersihan dan pengeringan ini kerap membuat berat jagung menyusut, sehingga pihak penggilingan enggan menanggung risiko kerugian.

“Kalau dibawa ke penggilingan, ada rendemen yang berlaku. Sampah diblow saja sudah susut beberapa persen, lalu dialihkan ke kadar air 14% susut lagi beberapa persen. Makanya kami arahkan Rp6.400 di pintu gudang Bulog dengan standar SNI,” kata Firman Mando.

Bulog Wajo beralasan, syarat ketat tersebut penting untuk menjaga kualitas jagung yang disimpan lama dalam gudang. Jagung yang tidak bersih atau tidak sesuai kadar air berpotensi memicu hama dan kerusakan selama penyimpanan.

Namun, syarat ini justru dianggap menjadi “tembok besar” bagi petani untuk mengakses pasar Bulog. Risiko penolakan jika kualitas tidak memenuhi standar membuat petani ragu untuk mencoba.

Sade, seorang petani jagung, mengaku lebih memilih menjual panen ke pengumpul meski dengan harga lebih rendah.

“Memang harga di Bulog tinggi, tapi susah dan rumit sekali. Biaya tambahan seperti deros Rp200 per kilo, ongkos ojek, buruh, rental truk, belum potongan pajak. Jadi kami lebih baik ke pengumpul saja,” tuturnya.

Keadaan ini ditanggapi serius oleh Wakil Ketua DPRD Sulsel dari PPP Supriadi Arif, Dia menegaskan bahwa alasan kadar air tidak bisa dijadikan pembenaran untuk membeli di bawah HPP.

“Pemerintah daerah dan Bulog seharusnya membeli di atas HPP, bukan malah di bawah. Ini ada permainan harga yang harus dikontrol. Pemerintah jangan sampai kalah oleh pengusaha,” tegasnya. (*)

Comment